Rabu, 21 Desember 2016

Pria & Wanita

πŸ’ Lelaki terindah di mata wanita bukanlah yang paling tampan wajahnya; melainkan yang bisa membuatnya merasa sang tercantik di dunia.

πŸ’ Lelaki tergagah di hati wanita bukanlah yang paling kekar ototnya, melainkan yang mampu mendengar, memahami, & mengerti curahan hatinya.

πŸ’ Lelaki terkaya bagi wanita, bukanlah yang terbanyak hartanya. Tapi dia yang pandai bersyukur & mengungkapkan terimakasih padanya.

πŸ’ Lelaki tershalih bagi wanita, tak sekedar yang banyak ilmu agama & rajin ibadahnya; tapi juga dia yang paling mulia akhlaqnya.

πŸ’ Lelaki terhebat bagi wanita, bukanlah yang mampu membelikan apapun untuknya; tapi yang wajah & bahunya siap menyambut senyum & airmata.

πŸ’ Lelaki tercinta bagi wanita; dia yang prasangka tak mengalahkan kemuliaan budinya; yang kekesalan tak mengalahkan pengertian & maafnya.

πŸ’ Wanita tercantik bagi pria terbaik; mungkin bukan yang paling jelita; tapi yang jika dipandang memberi tenang, hingga surgapun terbayang.

πŸ’ Wanita terkuat bagi pria semangat, bukanlah dia yang merasa hebat; tapi yang menundukkan diri dengan ibadat, menempatkan diri dalam taat.

πŸ’ Wanita terdahsyat bagi pria penuh tekad, bukan yang pesonanya memukau banyak mata; tapi yang siap jadi madrasah cinta bagi anak-anaknya.

πŸ’ Wanita paling kukuh di kehidupan pria nan utuh, bukan yang tak pernah menangis; tapi senyumnya meneguhkan; airmatanya pengingat taqwa.

πŸ’ Wanita paling bermakna bagi pria bahagia; dia yang kala berpisah menenangkan, kala berjumpa menggelorakan, tiap masa saling menguatkan.

πŸ’ Wanita terkaya di hati pria jatmika, bukan yang bertumpuk harta; tapi yang ridha pada halal semata; qana’ahnya jadi simpanan tak fana.

Ust. Salim A. Fillah


Senin, 19 Desember 2016

Anak yang dekat dengan Ayah nya πŸ’œ

Originally created by @fufuelmart (http://instagram.com/fufuelmart)
.
"Dami, kenapa sih kalau Yabi ada di rumah anak-anak nempel mulu dari bangun tidur sampai mau tidur lagi."

Protes Ayabi suatu kali sama Bundami. Iya, kalau ayahnya anak-anak lagi rumah, pasti Bundami nggak laku. Mandi mau sama Yabi, makan mau sama Yabi, baca buku mau sama Yabi, Main-main sama Yabi, gelendotan hampir berjam-jam sama Yabi. Bundami seneng aja sih, bisa lebih santei mau Me-Time hahaha πŸ™ˆπŸ˜‚
.
"Mereka tuh kangen sama Yabi, karena jarang kan bisa punya waktu lama sama Yabi. Bundami tiap hari hampir 24 jam digelendotin mereka, dibuntutin mereka, mau mandi aja harus mohon-mohon, ke toilet ditungguin, mau masak disuruh bacain buku, mau nyetrika suruh nemenin main. Yabi nikmatin aja, permintaan mereka gak aneh-aneh kan, cuma mau deket sama Yabi-nya. It means, mereka sayang banget sama Yabi. Mereka rindu ayahnya."
.
Bundami pernah membaca sebuah buku yang membahas pentingnya kedekatan anak, bersama kedua orantuanya masing-masing secara personal. Dalam bahasan buku tersebut juga dianjurkan bahwa di 2 tahun pertama, anak perlu lebih dekat dengan ibu. Selain karena alasan kebutuhan ASI, juga kebutuhan bounding attachment anak di 2 tahun pertamanya, perlu lebih sering bersama ibu, tanpa mengenyampingkan kebutuhan mengenal ayah.
.
Setelah usia 2 tahun ke atas sampai baligh, mulai didekatkan dengan ayah dan perlu imbang dekat bersama kedua orangtua. Dari mulai usia baligh ke atas hingga menikah, seorang anak perlu lebih dekat dengan orangtua yang sama jenis kelamin dengannya. Anak lelaki dengan ayah. Anak perempuan dengan ibu.
.
Kami mencoba mengaplikasikan apa yang Al-Qur'an ajarkan mengenai peran ayah sebagai "pendidik". Sebagian besar ayat yang menjelaskan tentang pengasuhan / pendidikan anak di dalam Al-Qur'-an itu mengenai pengasuhan ayah. Tugas ayah bukan hanya mencari nafkah, namun juga turut membentuk karakter anak. Anak-anak yang sering "disentuh" oleh ayahnya, terbuka dengan ayahnya, begitu dekat dan memiliki ikatan luat dengan ayahnya, cenderung akan tumbuh menjadi sosok yang lebih "berkarakter kuat".
.
Seperti yang pernah saya bahas sebelumnya akan fitrah setiap anak, yang membutuhkan sosok HERO dalam hidup ya. Hero alias pahlawan, yang menjadi sosok pelindung baginya, yang bisa ia banggakan, yang bisa ia andalkan, yang bisa ia teladani dan panuti. Dan ternyata "hero" yang diperlukan dan diharapkan setiap anak itu adalah AYAH-nya. Ayah merupakan sosok lelaki pertama yang dikenal anak sebagai seorang "pemimpin". Maka dari itu secara fitrahnya, anak akan meneladani ayahnya sebagai seorang yang "he / she want to be" di masa depannya.
.
Anak-anak yang dekat dengan ayahnya akan jauh lebih percaya diri, mandiri, logis dalam mengambil keputusan, tidak mudah galau, pandai bersosialisasi dengan baik; dan berbagai dampak positif lainnya. Sosok ayah sangat memegang peranan penting terhadap perkembangan emosi anak.
.
Oleh karenanya, bila fitrah memiliki "hero" itu tidak anak dapatkan dari ayahnya, maka secara bawah sadar, anak akan "mencari" sosok hero lain. Kalau masih kecil pelampiasannya bisa keranjingan tokoh-tokoh pahlawan super BERLEBIHAN, menjadikan artis-artis sebagai idola secara berlebihan, dan dampak paling ekstrim justru "tidak hormat" atau "tidak menghargai" ayahnya. Yang setelah dewasa, bisa berkelanjutan ke mencari pengakuan di lingkungannya, mencari kasih sayang dalam sosok "pacar" dan berbagai dampak buruk lainnya. 😊
.
Ajang membaca buku  bersama ayah salah satunya, selalu membuat Bundami sennah sekali melihatnya. Karena bisa  mendekatkan secara emosi dan fisik, ayah dengan anak. Boleh jadi para ayah, akan menemukan hal-hal yang belum ia ketahui dari anaknya, melalui agenda ngedate ini. Yuk agendakan anak kita membaca buku bersama ayah, minimal tiga puluh menit setiap harinya.
.
Dear para ayah...
karena membacakan buku juga bermain beraama anak tidak akan mengurangi waktu produktifmu;
melainkan memberimu energi luar biasa,
menambah peluang rezeki bagimu karena memuliakan mereka.
.
Dear para ayah....
karena dekat dengan anakmu tak menurunkan derajat dan harga dirimu;
melainkan membuatmu istimewa di hadapan mereka,
menjadikanmu sosok teladan yang baik yang bisa mereka kenang saat dewasa.
.
Bandung Desember 2016
dari seorang istri yang suka kalau suaminya lagi main atau bacain buku sama anak-anaknya, soalnya jadi punya waktu Me-Time πŸ™ˆπŸ˜…πŸ™πŸ» (Jadi kalau Bundami fast respond, itu tandanya kalau gak karena anak-anak udah tidur, atau ada Yabinya anak-anak πŸ™ˆπŸ˜‚)
.
#YukBacakanBuku #Delapan

Minggu, 18 Desember 2016

Hal yang menyebalkan

Salah satu hal paling menyebalkan dalam hidup ini adalah kamu seolah harus menjelaskan kondisi kamu kepada semua orang yang mengenal kamu, seolah mereka memang punya hak khusus untuk mengetahuinya. Jika kamu belum menikah, padahal usiamu sudah lebih dari cukup, orang akan bertanya kenapa kamu belum menikah. Kalau kamu menyebarkan undangan pernikahan, orang pun akan sibuk membahas dengan siapa kamu menikah. Jika sudah menikah tapi tak kunjung mempunyai anak, orangpun akan bertanya kenapa begini dan kenapa begitu. Ah, bahkan jika kamu meninggal nanti, orang juga tetep akan mempertanyakan kenapa kamu sampai meninggal, Sayang. Ah, tidakkah semua orang mengerti? Bahwa ada bagian diri kita yang tak perlu diketahui oleh semua orang? Tidakkah semua orang memahami, bahwa kehendak Allah tidak akan berubah karena kita membicarakannya.

#letterstokarel #nazrulanwar

Sabtu, 17 Desember 2016

Bertanya-tanya

Akhir – akhir ini, entah kenapa menghayal

Tentang masa depan menjadi sangat menarik.

Aku  bertanya dan berangan, akan jadi apa

Kita di masa yang akan datang.

Akankah kembali bergandengan tangan,atau

Perlahan saling melupakan karena jarak dan kesibukan

Atau kau sudah menemukan yang baru?.

Entahlah...



Aku bertanya, apakah nanti kita masih bisa bertemu?



Kau menjawab “Ya” dalam keraguan.

Suatu malam kita berbincang tentang rasa percaya.

Menautkan jari kelingkingku dengan milikmu,mengucap janji

Dan rangkaian aksara.

Aku menyukai percakapan ini tetapi aku tidak menyukai perpisahan ini,

Di satu sisi rasa takut menyerang, di sisi lain berusaha untuk tenang.



Aku hanya ingin kau tahu..



Jadi apapun kita di masa yang akan datang, entah kita masih bisa saling menyapa,

Atau kita tiba-tiba menjadi dua orang yang asing, ketahuilah..

Bahwa hati ini akan selalu menyimpanmu.



Karena hidup ini tentang pilihan.



Dunia ini luas.



Jika hati ini selalu yakin dan jika dunia merestui

Aku selalu yakin bahwa kita akan di pertemukan kembali,

Tentu saja, dalam keadaan dan dalam pribadi yang lebih baik.



Untukmu , yang berjibaku dengan masa depanmu.

Biarlah rinduku menjadi rindu yang ikhlas,

Seikhlas permintaan ibumu untuk pulang tepat waktu,namun tak pernah kau tepati.






Teruntukmu wanita yang menjadi milik si tuan.



Ciledug 9 desember 2016.



Alex turner.

Salim A Fillah: Iman yang tidak sendiri

"Karena saat ikatan melemah,
saat keakraban kita merapuh,
saat salam terasa menyakitkan,
saat kebersamaan serasa siksaan,
saat pemberian bagai bara api,
saat kebaikan justru melukai,
aku tahu,
yang rombeng bukan ukhwah kita,
hanya iman-iman kita yg sedang sakit,
atau mengerdil mungkin dua-duanya,
mungkin kau shj tentu terlebih sering,
imankulah yang compang camping."



"...Dan Allah yang mempersatukan hati para hamba beriman. Jikapun kau nafkahkan perbendaharaan bumi seluruhnya untuk mengikat hati mereka, takkan bisa kau himpunkan hati mereka. Tetapi Allah lah yang telah menyatupadukan mereka.."

Q.s Al- Anfaal (8:63)

πŸ“šDalam Dekapan UkhuwahπŸ“š

Senin, 12 Desember 2016

AGAR ANAK MENJADI PECINTA ILMU πŸ’œ

AGAR ANAK MENJADI PECINTA ILMU πŸ’œ
.
Originally created by @fufuelmart (http://instagram.com/fufuelmart)
.
Kemarin di tulisan saya tentang mendidik generasi Alpha, saya sempat membahas bagaimana anak-anak lepas dari gadget dan bisa taat pada aturan screentime tanpa tantrum. Salah satu caranya adalah dengan memfasilitasi anak untuk lebih dekat dengan buku, karena buku adalah salah satu media terbaik untuk anak mengenal banyak ilmu.
.
Berikut tips agar anak-anak menjadi suka bahkan cinta sama buku, yang tentu akan membuat mereka menjadi pecinta ilmu, insyaAllah:
.
1. Prepared Environment
Buatlah lingkungan rumah yang mendukung anak-anak lebih sering berinteraksi sama buku. Buat ruangan khusus mini home library unntuk anak-anak, khusus buku mereka saja tidak tercampur sama buku kita. Kalau belum mampu untuk memfasilitasi banyak buku, agendakan untuk ke perpustakaan daerah minimal seminggu sekali. Kalau di Bandung ada Bapusipda, di perpustakaan bagian anaknya banyak sekali buku buku bagus. Cuma karena saya jadwalnya masih sering keteteran, saya paling tiga bulan sekali ke perpus, memilih untuk menciptakan mini home library saja untuk anak-anak.
.
Di rumah kami sendiri, tidak ada televisi. Oleh karena itu sebisa mungkin kami memfasilitasi kegiatan harian anak-anak agar tidak membosakan. Bisa dilihat di foto, hampir di setiap sudut rumah lebih banyak bukunya πŸ™ˆπŸ˜‚ Saya dan suami sediakan perpustakaan ala-ala yang di rak bukunya khusus buku anak-anak saja. Untuk memudahkan mereka mengambil buku saat mereka ingin membaca. Ada rak buku dinding khusus untuk memajang buku-buku tipis yang tidak terlihat judulnya, agar bisa tetap rolling dan terbaca oleh anak-anak, biasanya saya ganti maksimal banget 3hari sekali. Di kamar tidur anak-anak pun saya siapkan rak buku, untuk kegiatan bedtime stories kami. Sekaligus memudahkan anak-anak untuk tidur tepat waktu, tingal masuk kamar bacakan buku sampai agak lelah, lalu matikan lampu kemudian tidur.
.
2. Sediakan Buku Anak yang Berkualitas
Buku yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan sesuai sama usianya. Anak-anak muslim yang merupakan generasi akhir zaman perlu cerdas; cerdas secara intelektualitas, cerdas secara emosi, juga cerdas secara spiritual. Jangan sampai kalah dengan orang tua di negara maju yang ortunya berbondong2 memberikan fasilitas terbaik untuk anaknya. Kita juga BISA!!! (next time semoga bisa buat tulisan tentang betapa banyak PR yang perlu kita selesaikan, untuk mempersiapkan anak-anak generasi akhir zaman 😒) Kompak sama suami untuk memiliki visi misi yang selaras, dukungan suami sangat penting dalam kelancaran kita menyusun goals terkait tumbuh kembang anak.
.
Mentor parenting saya Abah Ihsan mengingatkan bahwa, kalau anak mau suka buku, cukup belikan dan sediakan buku yang banyak, sedari mereka bayi; dengan sendrinya mereka akan menjadi pecinta buku. Coba list kebutuhan buku-buku anak sesuai kebutuhan, sebagi orangtua kita perlu selektif dan terjun langsung dalam memilih fasilitas media belajar anak,
.
3. Bacakan minimal satu buku satu hari, lebih banyak lebih baik. Kalau anaknya keliatan gak fokus, kurang tertarik, hobinya pengen cepet-cepet. Alasannya cuma dua; boleh jadi bukunya memang tidak menarik untuk dia, atau anaknya tipe anak auditory yang tidak terlalu suka melihat isi buku, tapi dia sangat mendengarkan apa yang kita bacakan meski sambil melakukan aktifitas lain. Ingat bahwa fitrah anak itu adalah pembelajar, jadi pasti semuanya fitrahnya pecinta ilmu πŸ’œ
.
Saya ikut program buku 1000 buku dalam 5 tahun, yaitu program mengenalkan anak sampai 1000 buku sebelum dia usianya lima tahun. Hal ini bertujuan untuk membuat anak cinta buku dan terbiasa sama buku sebagai sumber ilmu. Meskipun bukunya nggak harus sampai 1000 judul melainkan boleh diulang buku yang sama asalkan minimal 1 hari per buku, kali tiga tahun saja sudah 1000 buku kan?
.
Namun, karena terlanjur Emil sudah suka banget sama buku, jadilah saya punya target untuk memberikan 1000 judul buku anak buat Emil sebelum ia usia 5 tahun. Sampai saat ini, hitungan kasar saya sih, baru nyampe sekitar 500 buku yang kami miliki. Hampir semuanya buku cerita anak, karena saya masih fokus ke ngajarin anak-anak saya "Adab", jadi buku ensiklopedia masih sedikit jumlahnya.
.
4. Cara membaca yang jelas dan lantang.
Jangan pakai bahasa bayi atau bahasa balita, melainkan pakai bahasa indonesia yang jelas artikulasinya. Boleh gunakan teknik mendongeng dnegan beda beda suara sesuai karakter tokohnya, asalkan masih dengan artikulasi pengucapan yang baik. Sembari tunjukkan kata-kata yang dibacakan, agar anak memahami bagian-bagian percakapan yang ada di buku di mana saja, bahkan bisa jadi ajang anak mulai belajar membaca dengan hafal bentuk per kata nya.
.
Menjadi ibu membuat saya juga perlu belajar banyak ilmu, salah satunya ilmu mendongeng. πŸ˜‚ Meskipun belum mahir banget, tapi seenggaknya dengan belajar dari para pakar dongeng, jadi tahu cara membacakan yang baik agar anak tertarik dan antusias. Banyak belajar dari youtube, sama para pendongen ekspert nasional juga internasional. Buibu, jangan jadikan alasan ketidakbisaan kita keluar untuk ikut seminar jadi hambatan, manfaatkan kemudahan teknologi mumpung masih bisa dinikmati, dengan bijak ya.
.
5. Sebaik-baik teladan anak adalah orangtua, kalau mau anak cinta buku ya orangtuanya perlu juga. Baiknya agendakan punya target membaca tiap bulan untuk diri kita sendiri. Dengan melihat kita juga sering membaca buku untuk diri kita sendiri, anak-anak akan termotivasi untuk juga bisa membaca sendiri seperti orangtuanya.
.
Dibandingkan suami, sebenarnya saya kalau jauh banget dalam hal prestasi menamatkan buku per bulannya. Meskipun saya bisa sedikit ngeles sih, soalnya bisa bacain lebih dari 50 judul buku tiap bulan, iya buku anak-anak πŸ™ˆπŸ˜‚ Tapi tetep punya target bacaan sendiri. Di gambar ada rak hitam berderet itu sebagian koleksi buku-buku saya dan suami, dipisahkan dari rak buku anak-anak. Sisanya masih nitip di rumah orangtua masing-masing karena nggak muat di rumah kontrakan mungil kami πŸ˜…
.
6. Agendakan Jam Membaca Fix bagi Ibu Bekerja
Bagi ibu yang bekerja kadang suka bingung ya ngatur waktu untuk bisa quality time sama anak. Masih bisa diantisipasi sebenarnya, dengan membuat jadwal rutin harian membacakan buku pada anak. Pilih waktu-waktu dimana availabel, nggak perlu lama 10 menit juga cukup. Misla pagi-pagi sebelum berangkat pangku anak kemudian bacakan buku. Juga saat sebelum anak tidur, rutinkan bedtime stories, karena banyak sekali manfaatnya; utamanya mempererat bounding antara orangtua dan anak.
.
Semua tips ini tentu bukan hanya untuk ibu saja. Karena orangtuanya anak-anak itu berdua sama ayahnya. Anak-anak juga butuh dukungan dari ayahnya, butuh quality time sama ayahnya dan butuh diskusi mengenai isi buku sesuai pandangan ayahnya. Luangkan waktumu minimal 30 menit setiap hari untuk anak-anak ya yah πŸ˜ŠπŸ™πŸ»
.
7. Jangan pernah merasa "Lebay" kalau invetasi buku
Saya diajarin sama suami dan mentor saya untuk lebih utamakan investasi leher ke atas. Maksudnya investasi bagi otak kita, pengetahuan kita. Karena investasi leher ke atas nggak akan rugi, apalagi sebagai seorang muslim kita dianjurkan terus belajar sampai liang lahat.
.
Buku adalah salah satu investasi leher ke atas, yang nggak akan pernah merugikan; selama kita memastikan membeli buku yang tepat dan sesuai kebutuhan. Saya jarang banget beli kebutuhan investasi leher ke bawah berupa fashion dll, tapi nggak bisa kalau seminggu aja gak beli buku. Mungkin saat masih kecil dan usia dini masih belum keliatan berbedanya anak2 yg cenderung gak suka buku, dengan mereka yang suka buku.
.
 Tapi proses itu nggak pernah mengkhianati hasil, kelak saat mereka dewasa akan sangat terlihat bagaimana "cara berpikir" anak-anak yang sudah dikenalkan buku dari kecil dan menjadi pecinta ilmu, dibanding anak-anak yang lebih dikenalkan gadget atau hanya membaca buku untuk keperluan sekolah saja. Sangat berbeda nantinya.
.
Mari sama-sama bergenggaman tangan, saling menguatkan tangan satu sama lain; untuk mempersiapkan generasi terbaik, generasi akhir zaman yang semoga tetap kuat imannya pada agama Allah. Bismillah πŸ˜‡πŸ’œ
.
Bandung, Desember 2016
dari seorang ibu yang lagi sering baper sekaligus waswas ngikutin kajian akhir zaman
-FufuElmart-
.
Mohon maaf buat yang nggak bisa add friend karena udah full, tapi masih bisa tetep follow. Atau bisa silaturahim di Instagram saya @fufuelmart http://instagram.com/fufuelmart (saya lebih sering sharing di IG) πŸ˜ŠπŸ’œ πŸ™πŸ»









Minggu, 11 Desember 2016

Hijabi Korea, Hijab menjelaskan identitasku di Korea

[Ahad Share]
Catatan Muslimah di Negeri Ginseng
Writing Contest Semusim Cinta 2016
--------------------------------------------------------

Hijabi Korea, Hijab menjelaskan identitasku di korea
Oleh: Heny Aprianita

Pada kesempatan kali ini, aku ingin membagi cerita tentang pengalaman hidup di negeri asing antah berantah. Ehm, perlu aku garis bawahi disini, kisah terinspirasi dariku yang sedang meneruskan kehidupanku serta kombinasi dari berbagai cerita dan pengalaman teman-temanku yang sudah hidup bertahun-tahun disini.

Aku muslim, aku perempuan, aku mempertahankan hijabku..

Sebelum aku melangkahkan kakiku di negara gingseng, sempat kudengar cerita teman-temanku bahwa agak susah menggunakan atribut hijab/veil/kerudung/tudung dan lainnya di korea selatan. Sempat hati ini ragu, “akankah aku mempertahankannya, akankah aku bisa beradaptasi, dan akankah mereka mau menerimaku?” but, life must go on… Kerudung adalah prinsip, aku tahu, aku masih belum sepenuhnya benar dengan pakaian-pakaian yang aku kenakan selama disini, tapi coba telisik lagi, yang bisa memutuskan dosa dan tidak berdosa hanya Tuhan

Tentang Hijab..

Pernah beberapa kali aku mendapatkan pengalaman lucu tentang hijab yang kupakai. Bagi mereka, melihat orang memakai hijab adalah hal baru dan unik. Mereka sebenarnya penasaran alasan apa dan mengapa setiap kemana-mana selalu mengenakan kain yang ditaruh untuk menutupi rambut. Ada Ibu-ibu yang memandang tajam, dan feedback ku, aku beri senyuman termanis dan terlama untuknya. haha… Biarlah tak apa, agar ada kesan bahwa wanita berhijab itu ramah dan suka senyum.

Lalu pernah, ketika aku bersama teman-teman sedang makan di sebuah resto ternama di daerah busan, ada pria separuh baya datang menghampiriku. Sebegitu penasarannya dengan hijabku jenis rawis kuning yang saat itu aku pakai. Struktur kerudung rawis yang benang berserat-serat itu, ternyata mengundang rasa penasaran si Bapak untuk mencabut sehelai benang dikepalaku. Aku yang seketika kaget, melihat aksi tak lazim dari si bapak, aku tahan diriku, lalu kukatakan pada bapaknya bahwa ini tidak apa-apa dan aku sendiri yang akan mencabutnya. Marah? hmm sedikit, tetapi segera kubalikkan fikiranku, mereka tidak tahu..mereka penasaran…dan aku wajib untuk memberitahu, bahwa ini keyakinan.

Dan cerita dari seorang sahabatku sendiri, yang sudah bertahun-tahun hidup di Busan ini, dan beruntungnya dia yang sudah fasih bahasa korea, tetapi juga kasihan mendengar dan mengerti celotehan-celotehan orang sini dan pandangan mereka mengenai hijab ini. “eh si itu..pake apa tuh di kepala? ga panas apa ya?” dan …dan mendengar dirinya sendiri menjadi bahan perbincangan asyik para tante, benar-benar dibutuhkan jiwa berlapang dada yang tinggi.
Tetapi itulah kami, mempertahankan yang layak untuk dipertahankan…usaha kami sebagai wanita yang harus menutup aurat di tempat yang kami sendiri menjadi minoriti.

Menyerah?

Tidak, aku pribadi tidak akan menyerah untuk hal sepele semacam ini, banyak hal-hal besar yang terjadi di dalam hidupku dan aku masih menganggap hal ini masih belum apa-apa dan belum menjadikan alasanku untuk menanggalkan hijab.

Kuncinya hanya satu, yakinlah akan apa yang kamu yakini. Jika kamu yakin menggunakan hijab, pakailah. hadapi komentar orang yang menyerangmu, jangan sembunyi. Karena mereka hanya butuh “terbiasa” melihatmu. Buat mereka terbiasa dengan kehadiranmu itu.
Aku muslim, aku tidak memakan daging babi dan minum alkohol
Cerita mengenai makanan, alhamdulillah sudah terbiasa aku tangani. Memang sebelum aku berangkat kesini, aku orangnya pemilih tentang makanan, dan aku agak ribet dengan ingridient, kebersihan dan semacamnya, mungkin gegara backgroundku sebagai anak pangan yang menuntutku rewel masalah makanan. Pada dasarnya, mereka tidak tahu, jika muslim tidak memakan babi dan meminum alkohol. Jadi, berhubung aku menggunakan hijab, ternyata mempermudah identitas bahwa aku muslim dan tidak mengkonsumsi daging babi yang mereka makan sebagai makanan sehari-hari.

Beruntung, aku memiliki rekan lab dan proffesor yang open minded, dan sejak awal sudah kukatakan bahwa aku tidak bisa minum alkohol dan memakan babi, jadi ketika sedang diadakan acara makan-makan dan minum bareng, mereka sengaja tidak memesan babi dan minum soda sebagai pengganti alkohol. Intinya, semuanya tergantung kamu, tergantung cara ngomong kalian. Jika kalian diam saja tanpa berkomunikasi lebih lanjut tentang hal krusial ini, mereka akan memukul rata dan mengajak kalian untuk makan dan minum itu.

Aku muslim, aku sholat 5 waktu, dan aku puasa...

Untuk masalah sholat, jika kita membicarakan hal ini terlebih dahulu bersama mereka justru mereka akan memberikan sedikit space dan waktu untuk kita menjalankan kewajiban kita sebagai umat muslim. Dan berhubung laboratory ku tak ada tempat yang cocok buat sholat, maka untuk melaksanakan sholat biasanya aku nebeng di lab sahabatku yang kebetulan dekat dengan labku. Tapi sekarang layout labku sudah berubah, jadi aku diberikan sedikit tempat untuk ibadah.
Berdasakan pengalaman teman-temanku laki-laki yang harus melaksanakan sholat jumat di masjid, hampir tidak ada masalah mengenai ini, karena mereka sudah mengomunikasikan sejak awal bahwa setiap hari jumat siang mereka harus pergi ke masjid untuk melaksanakan sholat jumat. It’s easy… komunikasi..buat mereka terbiasa dengan kehadiran kita…

Ada sedikit cerita tentang puasa…

Kemarin aku sedang mencoba untuk puasa sunnah senin-kamis disini, ketika hampir kudapatkan setengah hari, aku mendapatkan berita bahwa labku akan ada makan bareng dengan semua anak prof yang ada di kampus lain. Iya ini salahku, aku tidak mengatakan bahwa hari ini aku puasa, dan akhirnya… dengan berat hati aku membatalkannya. sedih…tetapi, ini kembali di aku lagi. dan aku mendapatkan sebuah pelajaran disini, jika nanti saatnya bulan ramadhan, aku harus ngobrol dengan proffesor dari hati ke hati bahwa aku puasa sebulan dan maaf jika aku tidak bisa ikut serta selama sebulan untuk acara makan-makan.

Berdasarkan pengalaman dari temanku, ketika dia sedang berpuasa dan bertepatan ada acara makan-makan juga di labnya, dia membicarakan dengan prof nya bahwa dia tidak bisa ikut serta lantaran sedang berpuasa dan binggoo…profnya memberikan izin.
Begitulah suasana di Korea selatan, sebagian pelajar terutama master dan PhD memiliki kewajiban untuk hadir di laboratorium dengan u mengikuti rule laboratory masing-masing, karena setiap lab memiliki kebijakan berbeda.

Aku beruntung aku berhijab

Tapi masih jauh dari kata sempurna.

Kamis, 08 Desember 2016

Tentang 212 #1 Berkah dari Langit



Adzan berkumandang. Hujan bertambah lebat. Peserta aksi berdiri. Tidak nampak dari wajah mereka terganggu dengan air berkah yang turun dari langit. Barangkali Delon di rumah dua kali terheran-heran. Pertama, sumpahnya terkabul. Dia jingkrak-jingkrak. Mendadak wajahnya berubah melihat di televisi umat Islam yang melaksanakan sholat jum’at di acara bela Al Qur’an 212 tidak terusik sama sekali seolah-olah tidak ada hujan.

Barangkali Delon mengucek-ngucek matanya berkali-kali. Wajahnya di dekatkan ke televisi untuk meyakinkan apakah hujan yang dia lihat atau hanya illusi. Saat dia yakin memang hujan beneran, dia masih tidak percaya. Bagaimana mungkin jutaan orang sholat dengan khusyu di bawah hujan lebat? Biasanya teman-temannya yang melaksanakan aksi, kena panas matahari sedikit saja, memilih berteduh di taman. Sholat sunah dua rakaat yang basah. Jika dilihat dari udara merupakan pemandangan yang menakjubkan. Tua, muda, laki, perempuan sepanjang jalan Monas sampai bundaran HI dan sekitarnya tidak ada satupun yang lari dari berkah hujan.

Terdengar suara khutbah jum’at oleh Habib Rizieq. Hujan mengguyur hamparan putih yang khusyu mendengarkan khutbah. Air mulai meresap membasahi seluruh tubuh. Kering sudah sejak tadi terusir. Tubuh-tubuh basah duduk di atas sajadah basah. Tidak ada yang menggigil. Sungguh pengalaman batin yang luar biasa. Barangkali tidak akan terulang sepanjang hidup.

Aku bersyukur pada Allah bisa berada di antara jutaan suadara seiman yang basah. Air yang membasahi tubuh para pemuda muslim dan pemudi muslimah akan terus meresap ke dalam jiwanya yang akan mewarnai perjalanan imannya kelak. Tidak ada alasan untuk meninggalkan sholat dalam kondisi apa pun. Mental takut pada matahari dan takut pada hujan sebagai alasan berlari meninggalkan ibadah wajib, telah terkikis oleh basah di sepanjang jalan pada hari ini. Terdengar suara qamat. Semua berdiri. Berkah dari langit terus mengguyur tubuh-tubuh yang berdiri tegak di atas sajadah basah.

Takbirotul ihram yang basah.
Al fatihah yang basah.
Kenikmatan beribadah yang barangkali tidak akan terulang lagi.
Sujud yang basah di atas sajadah basah. Mencium berkahMu.
Bersyukur pada berkah yang Kau turunkan. 

Terdengar doa qunut nazilah. Semua tangan menengadah. Inilah saat doa diijabah. Bukan hanya saat turun hujan, berdoa di tempat yang kering. Tapi langsung pada sumber penyebab ijabah. Qunut nazilah yang cukup panjang tidak menyebabkan jutaan pasang kaki gontai. Di depanku seorang tua berusia kurang lebih enam puluhan, kedua kakinya tetap berpijak seperti menempel di atas sajadah basah.

Air hujan menggenang di kedua telapak tangan. Seperti berkah yang dicurahkan dari atas langit, langsung diberikan di kedua telapak tangan. Terus mengalir jatuh di atas sajadah, menyatu dengan berkah yang terus mengalir sepanjang jalan. Menembus bumi. Tersimpan berkah di dalam bumi kami. Akan dihisap oleh akar pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan. Setiap daun baru muncul, akan bermanfaat bagi keindahan kota yang insya Allah diberkahi ini. Akan jadi saksi keteguhan iman. Mengabarkan pada generasi mendatang.

Sholat selesai.
Hujan sudah mulai reda, tapi belum habis benar. Beberapa relawan mengumpulkan sampah. Menaruhnya dalam kantong plastik besar. Sepanjang perjalanan pulang yel yel tuntutan utama aksi ini bersahut sahutan. Beberapa gadis menyanyikan lagu perjuangan Islam. Seorang kakek menggandeng istrinya yang usianya sebaya dengannya. Keduanya basah. Tidak nampak ada gigil pada tubuh rentanya. Lautan putih bergerak perlahan ke segala arah.

Kami beristirahat di mushola Depo ( bengkel ) kereta stasiun Tanah Abang. Masih ada makanan tersisa. Kami makan bersama di saung depan mushola bersama beberapa orang peserta aksi yang kami tidak kenal namanya, tapi kami tahu, semua bersaudara dalam ukhuwah islamiyah, ukhuwah wathoniyah. Seseorang yang mungkin petugas Depo atau mungkin juga bukan membawakan dua cangkir kopi tanpa diminta, disusul empat gelas kopi susu. Dia ikhlas memberikannya. Ketika kami memberikan sejumlah uang dia menolaknya.

Barangkali memang banyak muslim yang seperti dia yang karena pekerjaanya tidak bisa ikut menyuarakan isi hatinya, tapi ingin membantu “perjuangan” saudaranya sesama muslim semampunya. 

Ada yang memang direncanakan, ada juga yang spontan seperti bapak pembuat kopi itu
Tapi ada juga saudara seiman lainnya bukan hanya tidak tergerak membantu, tapi malah menghina saudaranya. Padahal diam saja sudah cukup berguna, tapi mereka memang memilih jalannya sendiri. Tak apalah.

Terdengar pengumuman kereta yang akan kami tumpangi sudah tersedia. Kami bersiap pulang bertemu keluarga. Kami berjalan menuju kereta dengan memakai pakaian basah seperti juga saudara saudara seiman lainnya.

SELESAI

-Balya Nur-

Selasa, 06 Desember 2016

Be a good muslimah #1

Bahkan kepada sosok yg paling kejam dan keras di masa Nabi Musa seperti Fir'aun, Allah tetap memerintahkan Nabi Musa dan Nabi Harun untuk menasehati nya dengan cara yang baik dan lemah lembut. 


“Maka berbicaralah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dengan kata-kata yang lemah lembut.” (QS. Ath Thaha: 44)

====================

Tidak ada kunci yang lebih baik dan lebih tepat kecuali nasehat yang disampaikan dengan lemah lembut, diutarakan dengan beradab, dan dengan ucapan yang penuh dengan kasih sayang.

Jangan jd muslimah nyelekit. Apa yg disampaikan dgn hati akan sampai pula ke hati.

#selfreminder

Ratna Chairunnisa,
6-12-2015


Bulan Terbelah di Langit Amerika

Pasti kita sebagai penonton curiga, kenapa bulan sampai terbelah di Amerika. Apa gegara Amerika sedang kiamat atau satu purnama di New York emang beda dengan satu purnama di Jakarta.
Inti cerita di film ini adalah Islamphobia. Mengambil setting pasca kejadian 9/11, film ini menggambarkan snapshot kondisi Muslim Amerika pasca WTC.
Sehingga, definisi bulan terbelah dalam judul cerita ini menggambarkan kondisi Muslim Amerika disana yang betul-betul tertekan seakan-akan bulan terbelah dihadapan mereka.
Cerita di awal film ini menayangkan seorang keluarga Muslim Amerika yang sedang merayakan ultah anak mereka. Sang ayah bernama Ibrahim Hussein terlihat sangat care dan perhatian dengan istri dan anaknya.
Ditengah ultah tersebut, sang ayah mendapatkan sebuah telpon dari Kabul, Afganistan. Dalam telpon ini sang ayah dijelaskan akan mendapatkan sebuah paket dari Afganistan sana.
Sang istri yang tidak tahu menahu soal paket tersebut curiga dan heran dengan suaminya. Apalagi saat sang suami bilang kalau paket ini untuk kebaikan umat Muslim. Konflik dan permasalahan di film ini dimulai dari kesimpangsiuran dan kesalahpahaman informasi antara suami istri ini.
Kemudian pada saat beberapa hari berikutnya, tempat di tanggal 11 September 2001, Ibrahim Hussein membawa paket tersebut ke sebuah kantor di WTC
WTC seperti yang kita tahu merupaka penyerangan sekelompok teroris dengan menabrakkan pesawat ke gedung pesawat. Namun dalam penyelidikan berikutnya ada sebuah indikasi bahwa WTC diledakkan dari dalam gedung itu sendiri.
Dengan identitas teroris adalah seorang Muslim dan juga kebetulan membawa paket ke dalam gedung, Ibrahim Hussein akhirnya menjadi ditetapkan menjadi tersangka teroris yang ikut menyerang WTC.
bagi keluarganya, akan tetapi juga membawa rasa inferior terhadap ajaran Islam yang selama ini mereka anut.
Anak Ibrahim sampai mempertanyakan apakah Al-Quran yang diberikan oleh ayahnya sebelum meninggal merupakan sebuah kebenaran.
Istri Ibrahim, seorang mualaf yang bernama Azima Hussein mengubah namanya sendiri menjadi Julia Collins dan menanggalkan jilbabnya.
Islam sebenarnya masih ada dalam diri keluarga ini. Namun tekanan dan anggapan masyarakat Amerika yang sudah mengganggap suami dan ayah mereka sebagai teroris, telah merusak kebanggaan mereka sebagai seorang Muslim.
Cerita kemudian berpindah ke suami istri asal Indonesia yang bernama Rangga dan Hanum. Rangga adalah seorang mahasiswa doktoral yang sedang berproses menyelesaikan PhD nya di Wina sementara Hanum adalah seorang jurnalis.
Hanum diberikan tugas oleh redaksinya untuk menulis artikel bertema “Would the world be better without Islam?”. Hanum diminta untuk mewawancarai narasumber yang sudah dipilihkah oleh redakturnya. Narasumber tersebut adalah Julia Collins dan anaknya.
Secara kebetulan Rangga juga diminta oleh profesornya untuk pergi ke Amerika. Rangga diminta untuk bertemu dgn pengusaha dermawan bernama Brown Philipus. Rangga diharuskan untuk mewawancara dan merekam pidato Brown pada sebuah acara.
Philippus Brown ini dikenal sebagai eksentrik, misterius dan tidak mudah dikenal oleh media.
Untuk mempermudah proses Rangga disana, Rangga diminta menemui Stefan dan Jasmine yang berada di New York untuk mengatur pertemuan antara Rangga dan Brown.
Penyelesaian tugas Rangga dan Hanum ini membuat konflik diantara mereka. Julie Collins ternyata yang masih trauma, menolak untuk diwawancara. Sementara Rangga kehilangan waktu bertemu untuk Brown karena suatu hal.
Konflik semakin menjadi saat Hanum meminta Rangga untuk menemaninya mengerjakan tugas mewawancarai Julie. Rangga sayangnya tidak bisa membantu karena dia juga mempunyai tugas lain yang diberikan oleh profesornya.
Inilah yang membuat Hanum dan Rangga split sementara waktu di New York. Hanum, terbelit oleh esmosi pribadinya mencari solusi sendiri, meninggalkan Rangga yang juga semakin pusing memikirkan solusi untuk tugas yang diberikan profesornya dan juga solusi atas istrinya yang ngambek menjadi-jadi.
Bukan hanya Hanum dan Rangga saja yang berkonflik. Namun Stefan dan Jasmine juga berkonflik di film ini.
Jasmine menuntut Stefan untuk menikahinya, sementara Stefan merasa belum siap untuk menikah.
Konflik antara dua pasangan ini sebenarnya hanya menjadi bumbu tambahan diantara konflik utama di film ini, yaitu konflik antara umat Islam dengan non Muslim Amerika.
Dalam pencariannya untuk artikel yang sedang ia kerjakan, Hanum menemukan Michael Jones, seorang narasumber non Muslim Amerika. Michael Jones sangat keras terhadap Muslim karena istrinya sendiri terbunuh dalam kejadian WTC. Inilah yang membuat Michael Jones menolak adanya rencana pembangunan masjid di areal Ground Zero (bekas tempat runtuhnya WTC).
Dalam demonstrasi yang dipimpin oleh Jones menolak pembangunan masjid tersebut, terjadilah kerusuhan. Kerusuhan ini yang menyebabkan Hanum terluka.
Saat Hanum terluka itulah, Hanum berusaha untuk pulang ke tempat Stefan bersama seorang biarawati yang ditemuinya di jalan. Dengan identitas Hanum sebagai seorang yang berjilbab, Hanum sempat disindir dan diganggu oleh kumpulan pemuda yang beranggapan Muslim itu ialah teroris.
Konflik lainnya yang membahas tidak sejalannya Muslim dan Non Muslim disana adalah saat Julia disindir sebagai seorang teroris oleh tetangganya sendiri. Anak Julia sendiri juga dibully sebagai anak teroris.
Nah kira-kira bagaimana penyelesaian konflik tidak selarasnya Muslim dan Non Muslim ini di film ini? Jawabannya ada pada Philippus Brown.
Dalam sebuah scene Rangga bertanya kepada Brown sebuah pertanyaan unik. “Akankah dunia lebih baik tanpa Islam?”
Jawaban Philippus Brown ini yang menarik. Ia awalnya bercerita mengapa ia sekarang menjadi seorang yang dermawan.
Jawabannya ini ditayangkan di TV, dimana seluruh pihak yang terlibat dalam konflik melihat jawabannya. Jawaban Brown hanya satu, yaitu Ibrahim Hussein.
Ibrahim Hussein pada saat kejadian WTC terjadi membawa sebuah paket yang ditujukan kepada Brown. Paket tersebut ternyata berisi dokumen dan juga foto-foto masyarakat Afganistan yang sedang menderita.
Hussein kemudian meminta agar Brown memberikan hibah kepada masyarakat Afganistan disana agar mereka bisa terbantu.
Brown yang awalnya sebagai pengusaha yang pelit dan apatis, menolak hal tersebut.
“Buat apa saya menyumbang? Toh tanpa itu juga perusahaan saya bisa maju”.
Kemudian serangan WTC terjadi. Brown dan Hussein sibuk menyelamatkan diri.
Berbeda dengan Brown, Hussein menunjukkan kualitas dan kebaikannya disini saat mencoba menolong istri dari Michael Jones. Namun sayang istri Jones tidak tertolong.
Brown kemudian menyelamatkan diri. Namun sayang dalam tangga darurat, ia jatuh dan terinjak-injak oleh orang lain yang berusaha menyelamatkan diri juga. Hussein jugalah yang menolong Brown.
Hussein pada akhirnya menitipkan cincin pada istrinya sebagai hadiah ulang tahun pernikahannya pada Brown. Pertanda kemungkinan ia sudah tidak akan selamat lagi di WTC tersebut.
Inilah yang akhirnya membuat Brown berubah. Brown akhirnya mendedikasi hidupnya bukan hanya untuk dirinya sendiri tapi orang lain.
Pada akhir cerita, semua berbahagia. Julie tahu suaminya bukan seperti teroris yang ia kira selama ini, dan Jones menemukan kebenaran dari kematian istrinya sendiri yang ia belum pernah ketahui sebelumnya.
Kembali ke awal topik cerita film ini yang membahas Islamphobia. Bagaimana film ini membahas solusi atas Islamphobia tersebut?
Jawabannya ialah akhaqul karimah. Akhlak baik yang dimiliki Muslim akan menunjukkan persepsi bahwa Islam itulah sebenarnya adalah agama yang benar. Karena dengan Islam, manusia akan semakin mulia dan juga bermanfaat untuk orang lain.
“Dan sebaik-baik manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain”, sabda Rasulullah saw.
Selamat malam dan selamat beristirahat semuanya. Semoga ada manfaat.
Antara Jakarta dan Bandung,
20 Desember 2015
Dimas Prabu Tejonugroho


Sumber: mjr-sjs.net/bulan-terbelah-di-langit-amerika

Selasa, 24 Mei 2016

Ketika Mas Gagah Pergi

KETIKA MAS GAGAH PERGI

I

Mas Gagah berubah! Ya, sudah beberapa bulan belakangan ini Mas, sekaligus saudara kandungku satu-satunya itu benar-benar berubah.

Mas Gagah Perwira Pratama, masih kuliah tingkat akhir di Teknik Sipil UI. Ia seorang kakak yang sangat baik, cerdas, periang dan tentu saja ganteng! Mas Gagah juga sudah mampu membiayai kuliahnya sendiri dari hasil mengajar privat matematika untuk anak-anak SMP dan SMA, menjadi model majalah, hingga menjadi senpai di sebuah klub karate.

“Hai cewek tomboi!” sapanya suatu kali. “Waktunya kamu belajar bela diri! Percuma kan punya Mas karateka sabuk hitam, kalau kamu nggak bisa karate?”

Hari-hari kami pun bertambah dengan berlatih karate bersama. “Nggak usah kursus. Kursus sama Mas aja. Habis ini latihan modeling ya, biar jalanmu nggak lebih gagah dari Mas!” sindirnya sambil senyum.

Sejak kecil aku sangat dekat dengannya. Tak ada rahasia di antara kami. Ia selalu mengajakku kemana ia pergi. Ia yang menolong saat aku butuh pertolongan. Ia menghibur dan membujuk di saat aku bersedih. Membawakan oleh-oleh sepulang sekolah dan mengajariku mengaji. Pendek kata, ia selalu melakukan hal-hal yang baik, menyenangkan dan berarti banyak untukku.

Saat memasuki usia dewasa kami jadi makin dekat. Kalau ada saja sedikit waktu kosong, maka kami akan menghabiskannya bersama. Jalan-jalan, nonton film, konser musik atau sekadar bercanda bersama teman-teman. Mas Gagah yang humoris itu akan membuat lelucon-lelucon santai hingga aku dan teman-temanku tertawa terbahak-bahak. Dengan sedan putihnya ia berkeliling mengantar teman-temanku pulang usai kami latihan teater. Kadang kami mampir dan makan dulu di Kemang atau tempat-tempat yang sedang happening.

Tak ada yang tak menyukai Mas Gagah. Jangankan keluarga atau tetangga, nenek-kakek, orang tua dan adik kakak teman-temanku menyukai sosoknya!

“Kakak kamu itu keren, cute, macho dan humoris. Masih kosong nggak sih?”

“Git, gara-gara kamu bawa Mas Gagah ke rumah, sekarang orang serumahku sering membanding-bandingkan teman cowokku sama Mas Gagah lho! Gila, berabe kan?”

“Gimana ya Git, agar Mas Gagah suka padaku?”

Dan masih banyak lontaran-lontaran senada yang mampir ke kupingku. Aku cuma mesam-mesem. Bangga.

Pernah kutanyakan pada Mas Gagah mengapa ia belum punya pacar. Apa jawabnya?

“Mas belum minat tuh! Kan lagi konsentrasi kuliah. Lagian kalau Mas pacaran, banyak anggaran. Banyak juga yang patah hati! Hehehe,” kata Mas Gagah pura-pura serius.

Mas Gagah dalam pandanganku adalah sosok ideal. Kombinasi yang unik dari banyak talenta. Ia punya rancangan masa depan, tapi tak takut menikmati hidup. Ia moderat tapi tak pernah meninggalkan shalat! He’s a very easy going person. Almost perfect!

Huaa, itulah Mas Gagah. Mas Gagah-ku yang dulu!

Namun seperti yang telah kukatakan, entah mengapa beberapa bulan belakangan ini ia berubah. Drastis! Dan kalau aku tak salah, itu seusai ia pulang dari Madura.

“Memang ngapain sih Mas, ke Madura segala? Lama lagi!”

“Diajak survei sama salah satu profesor dan kontraktor, untuk perencanaan bangunan besar di sana, Dik Manis! Sekalian penelitian skripsi Mas….”

Ah, soal bangunan dan penelitian skripsi. Lalu kenapa Mas Gagah bisa berubah jadi aneh gara-gara hal tersebut? Pikirku waktu itu.

“Mas ketemu kiai hebat di Madura,” cerita Mas Gagah antusias. “Namanya Kiai Ghufron! Subhanallah, orangnya sangat bersahaja, santri-santrinya luar biasa! Di sana Mas memakai waktu luang Mas untuk mengaji pada beliau. Dan tiba-tiba dunia jadi lebih benderang!” tambahnya penuh semangat. “Nanti kapan-kapan kita ke sana ya, Git.

Huh.

Dan begitulah. Mas Gagah pun berubah menjadi lebay dalam hal agama seperti sekarang, hingga aku seolah tak mengenal dirinya lagi.

Aku sedih. Aku kehilangan. Mas Gagah yang dulu, yang selalu kubanggakan kini entah ke mana….

“Mas Gagah! Mas Gagaaaaaahhh!” teriakku kesal sambil mengetuk pintu kamar Mas Gagah keras-keras.

Tak ada jawaban. Padahal kata Mama Mas Gagah ada di kamarnya. Kulihat stiker metalik di depan pintu kamar Mas Gagah. Tulisan berbahasa arab gundul. Tak bisa kubaca. Tapi aku bisa membaca artinya : Jangan masuk sebelum memberi salam!

“Assalaamu’alaikuuum!” seruku.

Pintu kamar terbuka dan kulihat senyum lembut Mas Gagah.

“Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh. Ada apa Gita? Kok teriak-teriak seperti itu?” tanyanya.

“Matiin CD-nya!” kataku sewot.

“Lho memang kenapa?”

“Gita kesel bin sebel dengerin CD Mas Gagah! Memangnya kita orang Arab, masangnya kok lagu-lagu Arab gitu!” aku cemberut.

“Ini nasyid. Bukan sekadar nyanyian Arab tapi zikir, Gita!”

“Bodo!”

“Lho, kamar ini kan daerah kekuasaannya Mas. Boleh dong Mas melakukan hal-hal yang Mas sukai dan Mas anggap baik di kamar sendiri,” kata Mas Gagah sabar. “Kemarin waktu Mas pasang di ruang tamu, Gita ngambek, Mama bingung. Jadinya ya, dipasang di kamar.”

“Tapi kuping Gita terganggu Mas! Lagi asyik dengerin Lady Gaga eh tiba-tiba terdengar suara aneh dari kamar Mas!”

“Mas kan pasangnya pelan-pelan.”

“Pokoknya kedengaran!”

“Ya, wis. Kalau begitu Mas ganti aja dengan nasyid yang bahasa Indonesia atau bahasa Inggris. Bagus, lho! Ada koleksi Cat Steven alias Yusuf Islam yang Mas baru download nih”

“Ndak, pokoknya Gita nggak mau denger!” aku ngeloyor pergi sambil membanting pintu kamar Mas Gagah.

Heran. Aku benar-benar tak habis pikir mengapa selera musik Mas Gagah jadi begitu. Kemana CD para rocker yang selama ini dikoleksinya?

“Wah, ini nggak seperti itu, Gita! Dengerin Lady Gaga dan teman-temannya itu belum tentu mendatangkan manfaat, apalagi pahala. Lain lah ya dengan senandung nasyid Islami. Gita mau denger? Ambil aja dari laptop. Mas punya banyak kok!” begitu kata Mas Gagah.

Oalaa!

Sebenarnya perubahan Mas Gagah nggak cuma itu. Banyak. Terlalu banyak malah! Meski aku cuma adik kecilnya yang baru kelas dua SMA, aku cukup jeli mengamati perubahan-perubahan itu, walau bingung untuk mencernanya.

Di satu sisi kuakui Mas Gagah tambah alim. Shalat tepat waktu, berjama’ah di masjid, ngomongnya soal agama terus. Kalau aku iseng mengintip di lubang kunci, ia pasti lagi ngaji atau baca buku Islam. Dan kalau aku mampir di kamarnya, ia dengan senang hati menguraikan isi buku yang dibacanya, atau malah menceramahiku. Ujung-ujungnya, “Ayo dong Gita, lebih feminin. Kalau kamu pakai rok atau baju panjang, Mas rela deh kasih voucher belanja yang Mas punya buat beliin kamu rok atau baju panjang. Muslimah kan harus anggun. Coba Dik manis, ngapain sih rambut ditrondolin gitu!”

Uh. Padahal dulu Mas Gagah oke-oke saja melihat penampilanku yang tomboi. Dia tahu aku cuma punya dua rok! Ya rok seragam sekolah itu saja! Mas Gagah juga nggak pernah keberatan kalau aku meminjam kaos atau kemejanya. Ia sendiri dulu sering memanggilku Gito, bukan Gita! Eh, sekarang pakai manggil Dik Manis segala!

Hal lain yang nyebelin, penampilan Mas Gagah jadi aneh. Sering juga Mama menegurnya.

“Penampilanmu kok sekarang lain, Gah?”

“Lain gimana, Ma?”

“Ya, nggak semodis dulu. Nggak dandy lagi. Biasanya kamu yang paling sibuk dengan penampilan kamu yang kayak cover boy itu.”

Mas Gagah cuma senyum. “Suka begini, Ma. Bersih, rapi meski sederhana. Kelihatannya juga lebih santun.”

Ya, dalam penglihatanku Mas Gagah jadi lebih kuno dengan kemeja lengan panjang atau baju koko yang dipadu dengan celana panjang longgar. “Jadi mirip Pak Gino,” komentarku menyamakannya dengan sopir kami. “Untung saja masih lebih ganteng.”

Mas Gagah cuma tertawa. Mengacak-acak rambutku dan berlalu.

Mas Gagah lebih pendiam? Itu juga sangat kurasakan. Sekarang Mas Gagah nggak lucu seperti dulu. Kayaknya dia juga malas banget ngobrol lama atau becanda sama perempuan. Teman-temanku bertanya-tanya. Thera, peragawati sebelah rumah, kebingungan. Dan yang paling gawat, Mas Gagah emoh salaman sama perempuan! Kupikir apa sih maunya Mas Gagah?

“Sok keren banget sih Mas? Masak nggak mau salaman sama Tresye? Dia tuh cewek paling beken di Sanggar Gita tahu?” tegurku suatu hari. “Jangan gitu dong. Sama aja nggak menghargai orang!”

“Justru karena Mas menghargai dia makanya Mas begitu,” dalihnya, lagi-lagi dengan nada amat sabar. “Gita lihat kan orang Sunda salaman? Santun meski nggak sentuhan. Itu sangat baik!”

Huh. Nggak mau salaman. Ngomong nunduk melulu, sekarang bawa-bawa orang Sunda. Apa hubungannya?

Mas Gagah membawa sebuah buku dan menyorongkannya padaku. “Nih, baca, Dik!”

Kubaca keras-keras. “Dari ‘Aisyah ra. Demi Allah, demi Allah, demi Allah. Rasulullah Saw tidak pernah berjabat tangan dengan wanita kecuali dengan mahromnya. Hadits Bukhari Muslim!”

Si Mas tersenyum.

“Tapi Kiai Anwar mau salaman sama Mama. Haji Kari, Haji Toto, Ustadz Ali,” kataku.

“Bukankah Rasulullah uswatun hasanah? Teladan terbaik?” kata Mas Gagah sambil mengusap kepalaku. “Biar saja mereka begitu, tetapi Mas tidak, nggak apa kan? Coba untuk mengerti dan menghargai ya, Dik Manis?”

Dik Manis? Coba untuk mengerti? Huh! Dan seperti biasa aku ngeloyor pergi dari kamar Mas Gagah dengan mangkel.

Menurutku Mas Gagah sekarang terlalu fanatik! Aku jadi khawatir. Ah, aku juga takut kalau dia terbawa oleh orang-orang sok agamis tapi ngawur. Namun, akhirnya aku nggak berani menduga demikian. Mas-ku itu orangnya cerdas sekali! Jenius malah! Umurnya baru 20 tahun tapi sudah skripsi di FTUI! Dan aku yakin mata batinnya jernih dan tajam. Hanya, yaaa akhir-akhir ini ia berubah. Itu saja. Kutarik napas dalam-dalam.



“Mau kemana, Git!?”

“Nonton sama teman-teman.” Kataku sambil mengenakan sepatu. “Habis Mas Gagah kalau diajak nonton sekarang kebanyakan nolaknya!”

“Ikut Mas aja, yuk!”

“Kemana? Ke tempat yang waktu itu lagi? Ogah! Gita kayak orang bego di sana!”

Aku masih ingat jelas. Beberapa waktu yang lalu Mas Gagah mengajakku pengajian di rumah temannya. Terus pernah juga aku diajak menghadiri tabligh akbar di suatu tempat. Bayangin, berapa kali aku dilihatin sama cewek-cewek lain yang kebanyakan berjilbab itu. Pasalnya, aku kesana memakai kemeja lengan pendek, jins belel dan ransel kumalku. Belum lagi rambut trondol yang tak bisa kusembunyikan, meski sudah memakai topi. Sebenarnya Mas Gagah menyuruhku memakai baju panjang dan kerudung yang biasa Mama pakai mengaji. Aku nolak sambil mengancam tak mau ikut.

“Assalaamu’alaikum!” terdengar suara beberapa lelaki.

Mas Gagah menjawab salam itu. Tak lama kulihat Mas Gagah dan teman-temannya di ruang tamu. Aku sudah hafal dengan teman-teman si Mas ini. Masuk, lewat, nunduk-nunduk, senyum sedikit, nggak ngelirik aku, persis kelakuannya Mas Gagah.

“Lewat aja nih, Mas? Gita nggak dikenalin?” tanyaku iseng.

Dulu nggak ada deh teman Mas Gagah yang nggak akrab denganku. Tapi sekarang, Mas Gagah jarang memperkenalkan mereka padaku. Padahal teman-temannya lumayan ganteng.

Mas Gagah menempelkan telunjuknya di bibir. “Ssssttt !”

Seperti biasa, aku bisa menebak kegiatan mereka. Pasti ngomongin soal-soal keIslaman, diskusi, belajar baca Al-Quran atau bahasa Arab, yaaa begitu deh!

“Subhanallah, berarti kakak kamu ikhwan dong!” seru Tika setengah histeris mendengar ceritaku. Teman akrabku ini memang sudah sebulan ini berjilbab rapi. Memuseumkan semua baju you can see-nya.

“Ikhwan?” ulangku. “Makanan apaan tuh? Saudaranya bakwan atau tekwan?” suaraku yang keras membuat beberapa makhluk di kantin sekolah melirik kami.

“Huss! Untuk laki-laki ikhwan, untuk perempuan akhwat. Artinya saudara. Biasa dipakai untuk menyapa saudara seiman kita,” ujar Tika sambil menghirup es kelapa mudanya. “Kamu tahu Hendra atau Isa, kan? Aktivis Rohis kita itu contoh ikhwan paling nyata di sekolah ini.”

Aku manggut-manggut. Lagak Isa dan Hendra memang mirip Mas Gagah.

“Udah deh, Git. Nggak usah bingung. Banyak baca buku Islam. Ngaji! Insya Allah kamu akan tahu meyeluruh tentang din kita. Orang-orang seperti Hendra, Isa, atau Mas Gagah bukanlah orang-orang yang error atau ke arah teroris. Nggak-lah. Mereka hanya berusaha mengamalkan Islam dengan baik. Kitanya saja yang mungkin belum mengerti dan sering salah paham.”

Aku diam. Kulihat kesungguhan di wajah bening Tika, sobat dekatku yang dulu tukang ngocol ini. Tiba-tiba di mataku menjelma begitu dewasa.

“Eh, kapan main ke rumahku? Mama udah kangen tuh! Aku ingin kita tetap dekat, Gita,” ujar Tika tiba-tiba.

“Tik, aku kehilangan kamu. Aku juga kehilangan Mas Gagah,” kataku jujur. “Selama ini aku pura-pura cuek tak peduli. Aku sedih.”

Tika menepuk pundakku. Jilbab putihnya bergerak ditiup angin. “Aku senang kamu mau membicarakan hal ini denganku. Nginap di rumah, yuk. Biar kita bisa cerita banyak. Sekalian kukenalkan pada Mbak Nadia.”

“Mbak Nadia?”

“Sepupuku yang kuliah di Amerika! Lucu deh, pulang dari Amrik malah pakai jilbab! Itulah hidayah!”

“Hidayah?”

“Nginap, ya! Kita ngobrol sampai malam sama Mbak Nadia!”

“Assalaamu’alaikum, Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!” tegurku ramah.

“Eh adik Mas Gagah! Dari mana aja? Bubar sekolah bukannya langsung pulang!” kata Mas Gagah pura-pura marah, usai menjawab salamku.

“Dari rumah Tika, teman sekolah,” jawabku pendek. “Lagi ngapain, Mas?” tanyaku sambil mengintari kamarnya. Kuamati beberapa poster kaligrafi, gambar-gambar pejuang Palestina. Puisi-puisi Muhammad Iqbal tentang pemuda Islam yang tertempel rapi di dinding kamar. Lalu empat rak koleksi buku ke-Islaman….

“Cuma lagi baca, Git,” katanya.

“Buku apa?”

“Tumben kamu pengin tahu?”

“Tunjukin dong, Mas. Buku apa sih?” desakku.

“Eit, Eiiit!” Mas Gagah berusaha menyembunyikan bukunya.

Kugelitik kakinya, dia tertawa dan menyerah. “Nih!” serunya memperlihatkan buku yang sedang dibacanya dengan wajah setengah memerah.

“Nah yaaaa!” aku tertawa. Mas Gagah juga. Akhirnya kami bersama-sama membaca buku Memilih Jodoh dan Tata Cara Meminang dalam Islam itu….

“Maaaas….”

“Apa, Dik manis?”

“Gita akhwat bukan sih?”

“Memangnya kenapa?”

“Gita akhwat apa bukan? Ayo jawab,” tanyaku manja.

Mas Gagah tertawa. Sore itu dengan sabar dan panjang lebar, ia berbicara kepadaku. Tentang Allah, tentang Rasulullah. Tentang ajaran Islam yang indah namun diabaikan dan tak dipahami ummatnya. Tentang kaum Muslimin di dunia yang sering jadi sasaran fitnah dan tentang hal-hal lainnya. Dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa kembali menemukan Mas Gagahku yang dulu.

Mas Gagah dengan semangat terus berbicara. Terkadang ia tersenyum, sesaat sambil menitikkan air mata. Hal yang tak pernah kulihat sebelumnya!

“Mas, kok nangis?”

“Mas sedih karena Allah, Rasul dan Al Islam kini sering dianggap remeh. Sedih karena ummat yang banyak meninggalkan Al-Quran dan Sunnah, juga berpecah belah. Sedih karena saat Mas bersenang-senang dan bisa beribadah dengan tenang, saudara-saudara kita di negeri sendiri banyak yang mengais-ngais makanan di jalan, dan tidur beratap langit, sementara di belahan bumi lainnya sedang diperangi….”

Sesaat kami terdiam. Ah, Masku yang gagah dan tegar ini ternyata sangat perasa. Sangat peduli.

“Kok tumben Gita mau dengerin Mas ngomong?” tanya Mas Gagah tiba-tiba.

“Gita capek marahan sama Mas Gagah!” ujarku sekenanya.

“Emangnya Gita ngerti yang Mas katakan?”

“Tenang aja, Gita nyambung kok!” kataku jujur. Ya, Mbak Nadia juga pernah menerangkan hal demikian. Aku mengerti meski tak mendalam.

Malam itu aku tidur ditemani tumpukan buku-buku Islam milik Mas Gagah. Kayaknya aku dapat hidayah!

Hari-hari berlalu. Aku dan Mas Gagah mulai dekat lagi, meski aktivitas yang kami lakukan berbeda dengan yang dahulu. Sebenarnya banyak hal yang belum bisa kupahami, belum bisa kuterima dari keberadaan Mas Gagah, tetapi sungguh aku tak mau kehilangan sosoknya. Aku ingin bisa menjaga kedekatan kami selama ini.

Kini tiap hari Minggu kami ke berbagai masjid, mendengarkan ceramah umum, atau ke tempat-tempat tabligh akbar digelar. Kadang cuma aku dan Mas Gagah, kadang-kadang bila sedikit kupaksa Mama Papa juga ikut.

“Masa sekali aja nggak bisa, Pa…, tiap minggu rutin ngunjungin relasi ini itu. Kebutuhan rohaninya kapan?” tegurku.

Biasanya Papa hanya mencubit pipiku sambil menyahut, “Iya deh, iya!”

Pernah Mas Gagah mengajakku ke acara pernikahan temannya. Aku sempat bingung juga. Soalnya pengantinnya nggak bersanding tapi terpisah! Tempat acaranya juga begitu: dipisah antara lelaki dan perempuan. Terus bersama suvenir, para tamu dibagikan risalah nikah juga.

Dalam perjalanan pulang, baru Mas Gagah memberi tahu bagaimana hakikat acara pernikahan dalam Islam. Acara itu tak boleh menjadi ajang kemaksiatan dan kemubaziran. Ia juga wanti-wanti agar aku tak mengulangi ulah mengintip tempat cowok dari tempat cewek!

Aku nyengir kuda.

“Mungkin kamu, mungkin kita nggak setuju, Sayang, Tapi coba untuk menghargai ya?” katanya sambil mengusap kepalaku.

Kini tampaknya Mas Gagah mulai senang pergi denganku. Soalnya aku mulai bisa diatur. Pakai baju yang sopan, pakai rok panjang, ketawa nggak cekakaan.

“Coba pakai jilbab, Git!” pinta Mas Gagah suatu ketika.

“Lho, rambut Gita kan udah nggak trondol! Lagian belum mau deh jreng!”

Mas Gagah tersenyum. “Gita lebih anggun kalau pakai jilbab dan insya Allah lebih dicintai Allah. Kayak Mama”.

Memang sudah beberapa hari ini Mama berjilbab. Gara-garanya dinasehati terus sama si Mas, dibeliin buku-buku tentang wanita, juga dikompori sama teman-teman pengajian beliau.

“Gita mau, tapi nggak sekarang,” kataku. Aku memikirkan bagaimana dengan seabreg aktivitasku kini, prospek masa depan, calon suami nanti, dan semacamnya.

“Itu bukan halangan,” ujar Mas Gagah seolah mengerti jalan pikiranku.

Aku menggelengkan kepala. Heran. Mama yang wanita karier itu kok cepat sekali terpengaruh sama Mas Gagah!

“Ini hidayah, Gita!” kata Mama. Papa yang duduk di samping beliau senyum-senyum.

“Hidayah? Perasaan Gita duluan deh yang dapat hidayah baru Mama! Gita pakai rok aja udah hidayah!”

“Lho?” Mas Gagah bengong.

Dengan penuh kebanggaan, kutatap lekat wajah Mas Gagah. Bagaimana tak bangga? Dalam acara seminar umum tentang generasi muda Islam yang diadakan di UI, Mas Gagah menjadi salah satu pembicaranya! Aku yang berada di antara ratusan peserta ini rasa-rasanya ingin berteriak, “Hei, itu kan Mas Gagah-ku!”

Mas Gagah tampil tenang. Gaya penyampaiannya bagus, materi yang dibawakannya menarik dan retorikanya luar biasa! Semua hening mendengar ia bicara. Aku juga. Mas Gagah fasih mengeluarkan ayat-ayat Al-Quran dan Hadis Rasul. Menjawab semua pertanyaan dengan baik dan tuntas. Aku sempat bingung lho, kok Mas Gagah bisa sih? Bahkan materi yang disampaikannya jauh lebih bagus daripada yang dibawakan oleh kiai-kiai kondang atau ustadz tenar yang biasa kudengar!

Pembicara yang lain Mbak Nadia Hayuningtyas. Diam-diam aku makin kagum pada kakaknya Tika ini. Lembut, cantik. Cocok kali ya sama Mas Gagah! Hihi, aku jadi nyengir sendiri. Tika yang duduk di sebelahku juga tampaknya punya pikiran yang sama. Jadi kami sering lirik-lirikan dan senyum-senyum sendiri.

Ketika sesi pertanyaan dibuka lagi, aku mengacungkan tangan tinggi-tinggi. Ada beberapa yang ingin bertanya. Yup alhamdulillah moderator memilihku!

“Yes!” kata Tika.

Kulihat Mas Gagah tersenyum dari jauh.

“Assalaamu’alaikum, saya Gita, masih SMA. Mau nanya nih, gimana sih hukumnya jilbab? Kan sunnah ya?” tanyaku sambil sok menjawab sendiri.

Hadirin kasak kusuk.

“Ih, kok tanya itu lagi. Kan udah aku kasih tahu itu wajib,”sela Tika setengah berbisik.

Aku tak peduli. “Ya, setahu saya sih gitu. Ada banyak teman saya masuk pesantren. Di sana mereka pakai jilbab, tapi pas keluar ya mereka lepas-lah, malah ada yang jadi rocker.”

Gerrrrr, hadirin tertawa. Tika menatapku sambil geleng-geleng kepala.

Aku bingung, tapi tetap semangat. “Kayak saya nih.. Saya mau pakai jilbab, tapi ya ntar, nunggu udah nikah, udah tua atau pensiun. Lagian yang penting kan kita bisa jilbabin hati, ya ga? Buat apa pakai jilbab kalau nggak bisa jilbabin hati. Mendingan nggak dong!”

Hadirin riuh rendah, bertepuk tangan.

Moderator garuk-garuk kepala, persis Tika, di sampingku. “Oke, pertanyaan ditampung.”

Saat moderator meminta para pembicara menanggapi, Mbak Nadia tersenyum, “Sahabat sekalian, sebagai seorang muslimah, sedikitnya saya punya 8 alasan mengapa saya memakai jilbab.”

Aku menatap Mbak Nadia yang tampak lebih cantik dengan jilbab ungunya.

“Mengapa saya mengenakan jilbab?. Alasan pertama karena berjilbab adalah perintah Allah dalam surat Al Ahzab ayat 59 dan An Nur ayat 31. Kedua, karena jilbab merupakan identitas utama untuk dikenali sebagai seorang muslimah. Astri Ivo, seorang artis, justru mulai menggunakan jilbab saat kuliah di jerman. Saya Alhamdulillah mulai mengenakannya saat kuliah di Amerika.”

“Wuuuuiiiiih,” hadirin berdecak kagum.

Alasan ketiga saya mengenakan jilbab, karena dengan berjilbab saya merasa lebih aman dari gangguan. Dengan berjilbab, orang akan menyapa saya “Assalamu’alaikum”, atau memanggil saya “Bu Haji” yang juga merupakan do’a. Jadi selain merasa aman, bonusnya adalah mendapatkan do’a. Hal ini akan berbeda bila muslimah mengenakan pakaian yang ‘you can see everything’.

Hadirin tertawa. Hmmm.

“ Alasan keempat, dengan berjilbab, seorang muslimah akan merasa lebih merdeka dalam artian yang sebenarnya. Perempuan yang memakai rok mini di dalam angkot misalnya akan resah menutupi bagian-bagian tertentu tubuhnya dengan tas tangan. Nah, kalau saya naik angkot dengan berbusana muslimah saya bisa duduk seenak saya. Ayo, lebih merdeka yang mana?”

Hadirin tertawa lagi.

“Alasan kelima, dengan berjilbab, seorang muslimah tidak dinilai dari ukuran fisiknya. Kita tidak akan dilihat dari kurus, gemuknya kita. Tidak dilihat bagaimana hidung atau betis kita…. melainkan dari kecerdasan, karya dan kebaikan hati kita.”

Aku menunduk. Benar juga.

“Keenam, dengan berjilbab kontrol ada di tangan perempuan, bukan lelaki. Perempuan itu yang berhak menentukan pria mana yang berhak dan tidak berhak melihatnya”.

Hadirin manggut-manggut. Yes!

“Ke tujuh. Dengan berjilbab pada dasarnya wanita telah melakukan seleksi terhadap calon suaminya. Orang yang tidak memiliki dasar agama yang kuat, akan enggan untuk melamar gadis berjilbab, bukan?”

Aku menunduk lebih dalam.

“Terakhir, berjilbab tak pernah menghalangi muslimah untuk maju dalam kebaikan,” ujar Mbak Nadia. “O ya berjilbab memang bukanlah satu-satunya indikator ketakwaan, namu berjilbab merupakan sebuah realisasi amaliyah dari keimanan seorang muslimah. Jadi lakukanlah semampunya. Tak perlu ada pernyataan-pernyataan negatif seperti “Kalau aku hati dulu yang dijilbabin”. Hati kan urusan Allah, tugas kita beramal saja dengan ikhlas.”

“Setujuuuu,” koor hadirin.

“Nah, sebagai bagian dari ummat yang besar ini, masalah jilbab bukanlah masalah yang harus membuat kita bertengkar. Pakailah dengan kesadaran dan jangan mengejek atau memaksa muslimah yang belum memakainya, malah kita harus merangkul mereka. Tunjukkan ahlak kita yang indah sebagai muslimah.”

Kini semua orang bertepuk tangan.

Aku berdiri memberi applaus pada Mbak Nadia. Keren banget alasannya berjilbab. “Alasan ini Mbak, yang bisa saya terima!” teriakku. “Biasanya yang saya dengar: kita, perempuan pakai jilbab untuk membantu lelaki menjaga pandangannya. Huh parah! Sebel dengarnya! Kenapa harus kita yang repot menjaga pandangan mereka? Nggak banget deh!” teriakku.

Gerrrrrrr, para hadirin tertawa lagi. Sebagian menunjuk-nunjuk ke arahku. Tika menarik-narik ujung baju menyuruhku kembali duduk.

Tiba-tiba, kudengar suara Mas Gagah, “Moderator dan hadirin, perkenalkan, penanya tentang jilbab ini adalah adik saya Gita Ayu Pertiwi.”

Semua orang menoleh kepadaku yang masih berdiri. Aku salah tingkah. Mas Gagah tersenyum. Mbak Nadia juga. Tika nyengir. Aku makin salah tingkah.

“Insya Allah sebagaimana kita semua, Gita sedang berproses menjadi pribadi yang lebih baik. Ishlah dalam setiap desah napas. Kita doakan ya agar Allah memberi semua kebaikan, hidayahnya kepada Gita… dan kita semua di sini.”

“Aaamiiiiiin,” seru hadirin. Suara Tika terdengar paling keras.

Mas Gagah tersenyum dari jauh. Alhamdulillah sepertinya ia tak marah padaku..

“Masih mau ikut Mas nggak?” tanya Mas Gagah saat kami berdua dalam perjalanan pulang.

“Mau. Ke mana, Mas? Ke tempat Mbak Nadia?” godaku. “Kirain belum kenal sama kakaknya Tika, ternyata….Uuu, Gita mau tuh jadi adik iparnya Mbak Nadia nanti!”

“Hus!” Mas Gagah tersipu, menggandengku.

Mobil kami terus berjalan, jauh sekali, melintasi entah daerah yang asing bagiku. Mas Gagah berhenti sekali di sebuah supermarket kecil. Aku mengerutkan kening melihatnya membeli makanan kering, mie instan beberapa kardus, buku dan alat-alat tulis. Mau ke mana?

Hujan turun rintik-rintik, lalu makin deras. Mobil kami susah payah masuk di jalan kecil yang hanya pas untuk satu mobil. Jalan kumuh dengan rumah-rumah triplek dan kardus berjejalan, di sebuah kolong jembatan di daerah Jakarta Utara.

Ketika hujan benar-benar reda, aku mencium aroma sampah yang kuat. Kami turun dan segera kakiku disambut cipratan air sisa hujan yang menghitam. Beberapa anak berlarian menghampiri kami, di antaranya bertelanjang dada. Wajah mereka sumringah.

“Mas Gagah! Mas Gagah datang! Horeeeeee!”

Mas Gagah menatapku sambil tersenyum. “Kenalkan, ini adik-adik kita, Gita!”

Aku ternganga.

Mataku basah saat mereka berebutan mencium tangan kami dan tak berhenti bercerita. Mas Gagah memeluk, bertanya ini itu, mengajarkan beberapa hal, juga sempat bermain bersama mereka.

Belum hilang kagetku, tiga orang berbadan besar, sebagian bertato, tiba-tiba menghampiri kami. Ah tempat seperti ini memang banyak premannya. Aku sudah bersiap pasang kuda-kuda ketika kemudian….

“Gagah!”

What? Mas Gagah dan ketiga orang itu berjabat tangan lalu berangkulan sambil mengucapkan salam.

“Git, kenalin: ini Bang Urip, Bang Ucok dan Kang Asep.”

Aku mengangguk sambil mengernyitkan kening.

“Mereka yang jaga tempat ini dan melindungi anak-anak dari orang-orang jahat. Kami berkenalan enam bulan lalu dan membuka rumah baca bagi anak-anak di sini….”

Aku melongo. Rumah baca? Preman?

“Ya, kami preman insyap hahaha,” kata salah satu di antara mereka.

Aku masih tak mengerti.

“Dulu kite pernah palakin Gagah, trus kite babak belur. Nah senpai kite palak! Hehehe,” tukas Bang Urip padaku.

Lalu kulihat mereka bercerita macam-macam pada Mas Gagah.

“Sudah banyak perbaikan. Yang jadi copet sudah tak ada. Yg jadi garong apalagi. Piss, Piiis, Gagah. Terimakasih bimbinganmu selama ini. Eh, yang mau ikut ngaji bertambah lagi. Itu, pimpinan preman RW sebelah,” kata Bang Ucok.

“Alhamdulillah. Seru itu Bang!” kata Mas Gagah akrab.

“Terus, anak-anak di sini jadi tambah senang baca euy. Baca melulu. Jadi kepintaran kadang-kadang! Kami teh bisa kalah atuh sama mereka,” selak Kang Asep sambil nyengir.

Mas Gagah tertawa.

“Nyok kite sholat dulu, Gah. Noh mushola kite nyang bulan lalu belum kelar, sekarang ude bagus gara-gara elo dan temen-temen lo,” ujar Bang Urip.

“Alhamdulillah,” senyum Mas Gagah lagi, sambil memberi isyarat tangan padaku untuk melihat jauh ke depan, arah pojok kanan dari tempat kami berdiri. Sebuah mushala kecil dengan bata merah yang baru disemen.

“Eh, setiap ketemu kan kite yel dulu!” kata Bang Urip.

Lalu seperti diaba-aba, kulihat mereka semua berdiri: “Preman insaaaaap!” teriak Bang Urip.

Lalu kulihat Mas Gagah, Bang Ucok, Bang Urip dan Kang Asep melompat-lompat sambil mengepalkan tangan ke atas, berseru penuh semangat ala militer: “Huh huh huh huh: istiqomah!” Mereka berangkulan. Kemudian setengah berlari sambil tertawa, menuju mushala.

Di belakang mereka, anak-anak kecil mengikuti sambil melambai-lambai mengajakku ke mushala pula. Ah, Mas Gagah…, apa lagi yang telah ia lakukan? Mengapa akhir-akhir ini ia semakin sering membuatku menangis, lalu menorehkan pelangi di dada yang sesak?

Lusa ulang tahunku. Dan hari ini sepulang sekolah, aku mampir ke rumah Tika. Minta diajarkan memakai jilbab yang rapi. Tuh anak sempat histeris juga. Mbak Nadia senang dan berulang kali mengucap hamdalah.

“Salam nggak, Mbak, sama Mas Gagah?” usilku.

Mbak Nadia geleng-geleng kepala, mencubit pipi ini. “Aw!” jeritku.

Dan sekarang saatnya memberi kejutan pada Mas Gagah! Mama bisa dikompakin. Nanti sore aku akan mengagetkan Mas Gagah. Aku akan datang ke kamarnya memakai jilbab putihku. Kemudian mengajaknya jalan-jalan untuk persiapan syukuran ultah ketujuh belasku.

Kubayangkan ia akan terkejut gembira, memelukku. Apalagi aku ingin Mas Gagah yang memberikan ceramah pada acara syukuran yang insya Allah mengundang teman-teman, anak-anak panti yatim piatu dekat rumah kami, serta anak-anak rumah baca dan para preman insyaf di sana. Hihi, aku tersenyum membayangkan betapa serunya nanti.

“Mas Ikhwan!! Mas Gagaaaaah! Maaasss! Assalaamu’alaikum!” kuketuk pintu kamar Mas Gagah dengan riang.

“Mas Gagah belum pulang,” kata Mama.

“Yaaaaa, kemana sih, Ma?!” keluhku.

“Kan diundang ceramah ke Bogor. Katanya langsung berangkat dari kampus.”

“Jangan-jangan nginep, Ma. Biasanya malam minggu kan suka nginep di rumah temannya, atau di Masjid.”

“Insya Allah nggak. Kan Mas Gagah inget ada janji sama Gita hari ini,” hibur Mama menepis gelisahku.

Kugaruk-garuk kepalaku yang tak gatal. Entah mengapa aku kangen sekali dengan Mas Gagah.

“Eh, jilbab Gita mencong-mencong tuh!” Mama tertawa.

Tanganku sibuk merapikan jilbab yang kupakai. Tersenyum pada Mama.

Sudah lepas Isya. Mas Gagah belum pulang juga.

“Mungkin dalam perjalanan. Bogor kan lumayan jauh,” hibur Mama lagi.

Tetapi detik demi detik, menit demi menit berlalu. Sampai jam sepuluh malam, Mas Gagah belum pulang juga.

“Nginap barangkali, Ma?” duga Papa.

Mama menggeleng. “Kalau mau nginap Gagah selalu bilang, Pa!”

Aku menghela napas panjang. Menguap. Ngantuk. Jilbab putih itu belum juga kulepaskan. Aku berharap Mas Gagah segera pulang dan melihatku memakainya.

“Kriiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggg !” Telpon berdering.

Papa mengangkat telepon. “Halo, ya betul. Apa? Gagah?”

“Ada apa, Pa?” tanya Mama cemas.

“Gagah…, kritis, Rumah Sakit Mitra,” suara Papa lemah.

“Mas Gagaaaaaahhh!” Air mataku tumpah. Tubuhku lemas.

Tak lama kami sudah dalam perjalanan menuju rumah sakit. Aku dan Mama menangis berangkulan. Jilbab kami basah.

Dari luar kamar kaca, kulihat tubuh Mas Gagah terbaring lemah. Tangan, kaki, kepalanya penuh perban. Dua orang polisi hilir mudik di sekitar kami. Salah satunya sibuk menelpon. Tampak juga beberapa sahabat Mas Gagah.

Beberapa suster melarang kami untuk masuk ke dalam ruangan.

“Tapi saya Gita, adiknya, Suster! Mas Gagah pasti mau lihat saya pakai jilbab iniii!” kataku emosi pada suster di depanku.

Mama merangkulku, “Sabar, Sayang, sabar.”

Di ujung ruangan Papa tampak serius berbicara dengan dokter yang khusus menangani Mas Gagah. Wajah mereka suram.

“Suster, Mas Gagah akan hidup terus kan, Suster? Dokter? Ma?” tanyaku. “Papa, Mas Gagah bisa ceramah pada syukuran Gita kan?” air mataku terus mengalir.

Tapi tak ada yang menjawab pertanyaanku kecuali kebisuan dinding putih rumah sakit. Dan dari kamar kaca kulihat tubuh yang biasa gagah enerjik itu bahkan tak bergerak!

“Mas Gagah, sembuh ya, Mas…, Mas Gagah…, Gita udah jadi adik Mas yang manis. Mas Gagah…,” bisikku.

“Terjadi kerusuhan di Bogor. Ada ratusan orang yang ingin merusak sebuah rumah ibadah. Gagah melintasi daerah itu. Ia turun dari mobil dan berusaha menenangkan massa,” suara seorang polisi bicara pada Papa. “Ia bahkan berdiri di depan rumah ibadah itu, melindungi mereka bersama dua orang temannya.”

“Sebenarnya massa sudah tenang, mendengar apa yang disampaikan Gagah. Bahwa Islam itu mengajarkan kedamaian dan membawa pada keselamatan. Gagah bahkan bilang saatnya kita bergandeng tangan dan berjabat hati untuk membangun negeri….Mereka secara bergerombolan pun beranjak pergi,” tambah salah satu teman Mas Gagah.

“Lalu kenapa jadinya begini?” tanya Mama berlinang airmata.

“Entahlah, ketika massa pergi, tiba-tiba kami lihat hujan batu, entah dari mana. Sebelum kami sadar apa yang terjadi, Gagah sudah jatuh berlumuran darah!” kata teman Mas Gagah lagi. “Kami tidak lihat siapa yang melukainya!”

“Lalu massa bubar,” kata salah satu polisi. “Beberapa diantaranya melepas jubah yang mereka kenakan di jalan. Katanya mereka bukan warga desa itu. Mereka entah datang darimana.”

“Orang yang menyakiti Mas Gagah pasti orang jahat! Jahaaaaaaat! Gilaaa!” teriakku terisak.

“Mama memelukku lagi. “Pasti, Gita. Dan Mas Gagah….Mas-mu orang baik, Gita. Ia sedang berbuat baik saat terluka…,” tapi airmata Mama tak kalah deras.

Aku masih menangis dan memukuli dinding. Mama dan Papa berusaha menenangkanku. Seorang teman Mas Gagah mengingatkan bahwa ini jalan yang harus dilalui Mas Gagah.

“Jalan yang dipilih Gagah adalah jalan mulia, Gita,” tuturnya. Jalan yang sungguh mulia. Kami bersaksi!”

“Mana tersangkanya, Pak? Mana? Biar ia rasakan juga apa yang dirasakan Gagah sekarang! Manaaaa?” Suara seseorang, parau!

Aku menoleh. Bang Ucok dari pemukiman kumuh itu!

Seorang polisi menghampirinya, “Tenang, maaf…kami belum mendapatkan tersangkanya. Kami berjanji akan mengusut tuntas kasus ini.”

Tiba-tiba kulihat di belakang Bang Ucok, Bang Urip dan Kang Asep tergopoh-gopoh. Mata mereka basah dan merah. Wajah mereka kaku, penuh bias kehilangan yang dalam.

“Harusnya kite bertige ade di sono! Harusnya kite bertige ade di sono, ya Allaaah!” suara Bang Urip. “Gagah orang nyang paling baek, Bapak, Ibu. Dia nyang paling peduli ama kami yang dianggap sampah masyarakat. Dia deketin kami terus lagi suseh apalagi seneng. Kagak pernah ade unsur politiknye kayak orang-orang laen,” ujar Bang Urip menghampiri Mama dan Papa.

“Gagah mah udah membuat kami jadi lebih pede, lebih berarti, ngerti habluminallah habluminannaas,” tambah Kang Asep.

Mama Papa memandang mereka haru.

Aku masih terisak di sudut ruangan. Geram. Marah. Pedih. Gelisah. Sampai kulihat Tika dan Mbak Nadia datang. Setelah mengucapkan simpati pada Mama dan Papa, mereka menghampiri, berusaha menenangkan dan menghiburku.

Tiga jam kemudian kami masih berada di rumah sakit.. Sekitar ruang ICU mulai sepi. Tinggal kami, seorang bapak paruh baya yang menunggui anaknya yang juga dalam kondisi kritis, Tika, Mbak Nadia, serta beberapa sahabat Mas Gagah, Bang Ucok, Bang Urip dan Kang Asep. Aku sudah lebih tenang, berzikir dan terus berdoa, dibimbing Mbak Nadia. Ya Allah, selamatkan Mas Gagah, Gita, Mama dan Papa butuh Mas Gagah, ummat juga.”

Tak lama dokter Joko yang menangani Mas Gagah menghampiri kami. “Ia sudah sadar dan memanggil nama Ibu, bapak, dan Gi….”

“Gita…,” suaraku serak menahan tangis.

“Pergunakan waktu yang ada untuk mendampinginya seperti permintaannya. Sukar baginya untuk bertahan. Maafkan saya, lukanya terlalu parah,” perkataan terakhir Dokter Joko mengguncang perasaan, menghempaskan harapanku!

“Mas…, ini Gita, Mas…,” sapaku berbisik.

Tubuh Mas Gagah bergerak sedikit. Bibirnya seolah ingin mengucapkan sesuatu.

Kudekatkan wajahku kepadanya. “Gita sudah pakai… jilbab,” lirihku. Ujung jilbabku yang basah kusentuhkan pada tangannya.

Tubuh Mas Gagah bergerak lagi.

“Zikir, Mas,” suaraku bergetar. Kupandang lekat-lekat wajah Mas Gagah yang separuhnya tertutup perban. Wajah itu begitu tenang.

“Gi…ta….”

Kudengar suara Mas Gagah! Ya Allah, pelan sekali!

“Gita di sini, Mas. Semua ada di sini. Mama, Papa, Bang Ucok, Bang Urip, Kang Asep, Mbak Nadia, Tika, yang lain juga….

Perlahan kelopak matanya terbuka. Aku tersenyum.

“Gita udah pakai jilbab,” kutahan isakku.

Memandangku lembut, Mas Gagah tersenyum. Bibirnya seolah mengucapkan sesuatu seperti hamdalah.

“Jangan ngomong apa-apa dulu, Mas,” ujarku pelan ketika kulihat ia berusaha lagi untuk mengatakan sesuatu.

Mama dan Papa memberi isyarat untuk gantian. Ruang ICU memang tak bisa dimasuki beramai-ramai. Dengan sedih aku keluar. Ya Allah…, sesaat kulihat Mas Gagah tersenyum. Tulus sekali!

Tak lama aku bisa menemui Mas Gagah lagi. Dokter mengatakan Mas Gagah tampaknya menginginkan kami semua berkumpul.

Kian lama kurasakan tubuh Mas Gagah semakin pucat. Tapi sebentar-sebentar masih tampak bergerak. Tampaknya ia juga masih bisa mendengar apa yang kami katakan meski hanya bisa membalasnya dengan senyuman dan isyarat mata.

Kuusap setitik lagi airmata yang jatuh. “Sebut nama Allah banyak-banyak, Mas,” kataku sambil menggenggam tangannya. Aku sudah pasrah pada Allah. Aku sangat menginginkan Mas Gagah terus hidup. Tapi sebagai insan beriman, seperti yang dikatakan Mbak Nadia, aku pasrah pada ketentuan Allah. Allah tentu lebih tahu apa yang terbaik bagi Mas Gagah.

“Laa…ilaaha…illa…llah…, Muham…mad…Ra…sul…Al…lah…,” suara Mas Gagah pelan, namun tak terlalu pelan untuk kami dengar.

Mas Gagah telah kembali pada Allah. Tenang sekali. Seulas senyum menghiasi wajahnya.

Aku memeluk tubuh yang terbujur kaku dan dingin itu kuat-kuat. Mama dan Papa juga. Isak kami bersahutan walau kami rela dia pergi.

Selamat jalan, Mas Gagah!



Buat adikku manis Gita Ayu Pratiwi,

Semoga memperoleh umur yang berkah,

Dan jadilah muslimah sejati

yang selalu mengedepankan nurani

Agar Allah selalu besertamu.



Ingat Islam itu indah…

Islam itu cinta…

Kalau kau tak setuju pada suatu kebaikan,

yang mungkin belum kau pahami,

kau selalu bisa menghargainya…

Sun Sayang,

Mas Ikhwan, eh Mas Gagah!



Kubaca berulang kali kartu ucapan Mas Gagah. Keharuan memenuhi rongga-rongga dadaku.

Rok dan blus panjang, serta jilbab hijau muda, manis sekali. Ah, ternyata Mas Gagah telah mempersiapkan kado untuk hari ulang tahunku. Aku tersenyum miris.

Kupandangi kamar Mas Gagah yang kini lengang. Aku rindu panggilan Dik Manis, Aku rindu suara nasyid. Rindu diskusi-diskusi di kamar ini. Rindu suara merdu Mas Gagah melantunkan kalam Ilahi yang selamanya tiada kudengar lagi. Hanya gambar-gambar kaligrafi di dinding kamar yang menatapku. Puisi-puisi Iqbal tentang pemuda yang seolah bergema di ruang ini.

Lalu wajah adik-adik di kolong jembatan berlintasan, wajah Bang Ucok, Bang Urip, kang Asep…, Mbak Nadia, doa-doa buat negeri dan ummat yang selalu ia panjatkan….

Setitik air mataku jatuh lagi.

“Mas, Gita akhwat bukan sih?”

“Ya, Insya Allah akhwat!”

“Yang bener?”

“Iya, dik manis!”

“Kalau ikhwan itu harus ada jenggotnya, ya?!”

“Kok nanya gitu?”

“Lha, Mas Gagah ada jenggotnya dikit!”

“Ganteng kan?”

“Uuu! Eh, Mas, kita kudu jihad, ya? Jihad itu apa sih?”

“Ya always dong! Jihad itu kamu sungguh-sungguh berbuat baik…”

Setetes, dua tetes, air mataku kian menganak sungai.

Kumatikan lampu. Kututup pintu kamarnya pelan-pelan.

Selamat jalan, Mas Ikhwan! Selamat jalan, Mas Gagah…

Pulang

Masih dalam suasana lebaran dan liburan. Senang sekali rasanya bisa pulang dan main ke kota ini, biasanya cuma singgah sebentar, terus bera...